Catatan Reportase :

Dari Pemilu Amerika : George Bush atau Al Gore? (35 - Selesai)

 

New Orleans, 14/12/00 – 10:30 PM (15/12/00 - 11:30 WIB)

 

Setelah 35 kali saya menuliskan pertanyaan sebagai judul catatan ini, kini sudah terjawab yaitu bahwa akhirnya Gubernur Texas, George W. Bush, terpilih sebagai Presiden Amerika ke-43, setelah mengalahkan Wakil Presiden Al Gore melalui pertarungan sengit selama 36 hari.

 

Kedudukan akhir pengumpulan kartu suara secara nasional (popular vote) adalah : Gore mengumpulkan 50.158.094 suara (48%) dan Bush mengumpulkan 49.820.518 suara (48%), dengan sisanya diraih “partai gurem” penggembira pemilu lainnya. Meskipun Gore menang di popular vote, tetapi Gore hanya berhasil mengumpulkan 267 jatah suara (electoral vote) dari 21 negara bagian termasuk ibukota Washington DC, sedangkan Bush mengumpulkan 271 jatah suara dari 30 negara bagian. Karena pemilihan presiden didasarkan pada jumlah jatah suara yang berhasil dikumpulkan dari negara-negara bagian, maka Bush yang akhirnya berhak menjadi pemenangnya.

 

Banyak pelajaran akan dipetik oleh berbagai elit politik Amerika dari proses panjang pemilihan presiden yang akan menjadi catatan tersendiri bagi sejarah pemilu di Amerika. Berbagai kalangan kini mulai mengamat-amati perangkat peraturan dan perundang-undangan pemilu di wilayah negara bagian masing-masing, guna mengantisipasi jika seandainya kasus yang serupa akan kembali terjadi di masa-masa mendatang.

 

Sebagai catatan akhir, saya ingin menggaris-bawahi hal-hal sbb. :

 

Pertama :

Melihat proses pemilu yang tidak “mulus” kali ini, sebagian orang di belahan dunia lain mengkhawatirkan akan terjadinya krisis politik di Amerika. Bahkan sebagian lain mencemooh bahwa demokrasi Amerika yang dibangga-banggakan itu ternyata tidak berjalan. Saya justru berpendapat sebaliknya, inilah saatnya demokrasi Amerika sedang diuji. Bagaimana Amerika akan keluar dari kemelut berkepanjangan itu. Akhirnya memang terbukti bahwa Amerika dapat keluar dari kemelut pemilihan presiden dengan cara yang demokratis. Tanpa terjadi chaos, tanpa terjadi kekerasan, tanpa terjadi krisis politik.

 

Lha, kok justru di Amerika saya melihat pangejawantahan (manifestasi) dari semboyan para leluhur Jawa : “kalah tanpa wirang, menang tanpa ngasorake” (mudah-mudahan saya tidak salah mengkutip pemeo ini), yang artinya kalah tanpa kehilangan kehormatan dan menang tanpa merendahkan lawannya.

 

Setelah berbagai cara legal ditempuh oleh Al Gore, dan akhirnya tidak juga berhasil dan tidak ada cara “halal” lagi yang dapat ditempuh, maka dengan kesatria Al Gore mengakui kekalahannya dan siap bersama-sama pendukungnya berdiri di belakang George Bush, demi Amerika. Betatapun keputusan pengadilan sangat membuat Gore kecewa, namun toh Gore tetap menghormati keputusan itu dan menerimanya. Bush pun memuji Al Gore dan siap melayani semua warga Amerika baik yang memilih maupun tidak memilih Bush, menuju cita-cita bersama.

 

Saya sendiri sempat merasa miris, membayangkan seandainya peristiwa serupa terjadi di Indonesia misalnya, bencana apa lagi yang akan terjadi. Merinding rasanya membayangkan di Indonesia akan terjadi chaos, kekerasan di mana-mana, dan bukan tidak mungkin terjadi pertumpahan darah yang sia-sia.

 

Kedua :

Meskipun Gore unggul dalam pengumpulan suara secara nasional (popular vote), namun karena kemenangan ditentukan oleh pengumpulan jatah suara (electoral vote) dari setiap negara bagian, maka akhirnya Bush yang dinyatakan menang. Kenyataan ini sebenarnya mirip dengan sistem perwakilan dalam lembaga politik kita, dimana jumlah anggota DPR/MPR ditentukan secara proporsional oleh banyaknya partai yang menang di tiap-tiap propinsi.

 

Sebagai ilustrasi, tentunya kita masih ingat dengan hasil pemilu di Indonesia tahun lalu, dimana secara nasional PKB mengumpulkan jumlah suara lebih banyak dibandingkan Golkar (identik dengan popular vote). Akan tetapi kenyataannya jumlah anggota perwakilan Golkar di DPR/MPR lebih banyak daripada perwakilan PKB (identik dengan electoral vote). Maka seandainya di Indonesia ini hanya ada dua partai saja dan masing-masing mengajukan kandidat presidennya, sudah barang tentu kandidat Golkar yang akan menang karena mempunyai perwakilan pemilih yang lebih banyak.

 

Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada yang aneh dengan sistem pemilu dalam institusi politik kita. Kalaupun ada yang aneh jika dibandingkan dengan sistem pemilu di Amerika adalah bahwa di Amerika sejak tahap awal rakyat sudah melihat “kucing” yang mau dibeli, sedangkan bagi kita “kucing” itu masih dalam karung. Jika akhirnya “kucing”-nya diganti-ganti atau justru “kucing liar” (entah keluar dari karung atau sarungnya siapa), maka tidak ada yang boleh protes.

 

Keanehan yang kedua adalah adanya anggota perwakilan di DPR/MPR yang diangkat. Apapun alasannya, pasti tidak akan terhindarkan bahwa mereka yang diangkat akan berasal dari pihak yang sedang berkuasa. Maka tidak heran ketika mantan Presiden Suharto keukeuh (berkeras) ketika menyampaikan sambutan tanpa teks di depan Rapim ABRI tahun 1980 di Pakanbaru, bahwa adanya sepertiga anggota DPR/MPR yang diangkat adalah demi mengamankan UUD 1945.

 

Belakangan saya baru sempat berprasangka buruk, jangan-jangan bukan UUD 1945-nya yang diamankan melainkan pelaksananya. Mudah-mudahan prasangka buruk saya keliru, dan kalaupun benar, ya sudah terlambat 20 tahun. Barangkali karena waktu itu saya adalah satu dari 180 juta orang yang menderita “sakit gigi”.   

 

***

 

Akhirnya saya berharap, semoga tim pemantau pemilu dari Indonesia yang (menurut Kepala Konsul Jendral RI di Houston) juga berangkat ke Amerika, dapat kembali ke tanah air dengan membawa hal-hal positif yang sekiranya dapat dipelajari dan diterapkan. Terutama bagi perbaikan sistem demokrasi Pancasila yang suuuangat kita bangga-banggakan. Sama bangganya dengan masyarakat Amerika atas sistem demokrasi mereka yang memang terbukti berjalan.

 

Saya percaya bahwa lain ladang memang lain belalangnya. Justru karena itu jangan hendaknya belalangnya jadi sak karepe dhewe (semaunya sendiri). George Bush saja mengajak segenap rakyat Amerika untuk berdoa kepada Tuhan, demi kejayaan Amerika. Marilah kita juga berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, demi kejayaan Indonesia.-

 

 

New Orleans, 14 Desember 2000 - Selesai.

Yusuf Iskandar

 

 

[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]